IMG-LOGO
Home Internasional Jeritan di Tengah Jenazah: Rio de Janeiro Berduka atas 132 Korban Operasi Polisi Paling Mematikan
internasional | umum

Jeritan di Tengah Jenazah: Rio de Janeiro Berduka atas 132 Korban Operasi Polisi Paling Mematikan

oleh VNS - 30 Oktober 2025 15:33 WITA
IMG
Operasi Polisi di Rio de Janeiro Janemenewaskan setidaknya 132 orang, ini merupakan yang mematikan dalam sejarah Brazil. foto: Reuters

POLITIKAL.ID - Suara tangis dan doa memenuhi udara di sebuah alun-alun kecil di kawasan utara Rio de Janeiro, Rabu (29/10/2025). Di bawah langit yang suram, lebih dari 50 jenazah dibaringkan di tanah, sebagian masih berlumur darah, sebagian lain hanya tertutup kain seadanya. Bau kematian menyelimuti udara, di tengah ratapan warga yang kehilangan keluarga akibat operasi polisi besar-besaran melawan jaringan narkoba.

Operasi tersebut, yang berlangsung pada Selasa (28/10), menewaskan sedikitnya 132 orang, menjadikannya salah satu operasi paling mematikan dalam sejarah Brasil modern. Aksi ini menargetkan kelompok kriminal Comando Vermelho atau “Komando Merah”, jaringan narkoba paling kuat di Rio yang telah lama menguasai favela-favela miskin di ibu kota negara bagian itu.

Namun di balik klaim keberhasilan aparat menumpas kejahatan, warga justru menyebutnya sebagai pembantaian massal. Seorang perempuan menangis histeris di depan jenazah anggota keluarganya yang terbungkus kain kafan darurat.

 “Negara datang bukan untuk menegakkan hukum, tapi untuk membunuh,” katanya kepada kantor berita AFP.

Seorang reporter AFP yang berada di lokasi melaporkan melihat jenazah tanpa kepala, luka tembak di bagian belakang kepala, hingga tubuh dengan bekas ikatan dan luka bakar. Kesaksian warga menggambarkan bahwa sebagian korban tampaknya dieksekusi di tempat, bukan tewas dalam baku tembak seperti yang diklaim polisi.

Operasi yang berlangsung selama berjam-jam itu melibatkan sekitar 2.500 petugas bersenjata lengkap, didukung kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone. Empat petugas polisi dilaporkan turut tewas dalam pertempuran yang digambarkan warga seperti “medan perang”.

Kompleks Penha dan Kompleks Alemão  dua kawasan padat di dekat Bandara Internasional Galeão berubah menjadi labirin penuh asap, kobaran api, dan suara tembakan yang tak henti.

Pihak kepolisian negara bagian Rio awalnya menyebut 60 “penjahat bersenjata” tewas dalam operasi tersebut. Namun, jumlah korban terus bertambah seiring ditemukannya jenazah baru di berbagai titik permukiman. Di sisi lain, warga dan aktivis HAM menuduh polisi melakukan eksekusi sistematis terhadap warga sipil.

“Banyak korban ditembak di belakang kepala atau punggung. Ini bukan keselamatan publik, ini pembunuhan massal,” ujar Raul Santiago, aktivis hak asasi manusia berusia 36 tahun, yang selama ini aktif mendampingi warga favela.

Kritik keras juga datang dari pemerintahan pusat. Menteri Kehakiman Brasil, Ricardo Lewandowski, mengatakan bahwa Presiden Luiz Inácio Lula da Silva “ngeri dengan banyaknya korban jiwa” dan terkejut karena operasi sebesar itu dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah federal. Ia memerintahkan penyelidikan menyeluruh terhadap tindakan aparat negara bagian Rio de Janeiro.

Sementara Gubernur Rio de Janeiro, Cláudio Castro, membela operasi tersebut. Ia menulis di platform X (Twitter), bahwa aparatnya berhadapan dengan “narkoterorisme”, bukan kejahatan biasa.

 “Mereka menggunakan bus sebagai barikade, drone berisi bahan peledak, dan senjata otomatis. Negara tidak akan tunduk,” tulis Castro.

Namun, penjelasan itu tidak meredakan amarah publik. Komisi Hak Asasi Manusia di parlemen negara bagian Rio menilai apa yang terjadi sebagai bentuk “barbarisme negara”. Ketua Komisi, Dani Monteiro, menegaskan bahwa pihaknya akan menuntut penjelasan resmi tentang bagaimana sebuah operasi penegakan hukum dapat berubah menjadi tragedi berdarah.

Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) turut angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, PBB menyebut peristiwa itu “mengerikan” dan menyerukan dilakukannya investigasi independen.

“Jumlah kematian yang sangat tinggi ini tidak dapat diterima dalam konteks penegakan hukum. Kami menyerukan transparansi dan akuntabilitas penuh,” tulis OHCHR.

Bagi masyarakat Rio, tragedi ini membuka kembali luka lama. Data tahun 2024 mencatat sekitar 700 orang tewas akibat operasi polisi di negara bagian Rio de Janeiro hampir dua orang setiap hari. Mayoritas korban berasal dari kawasan miskin yang padat dan dikuasai geng narkoba.

Sejak bertahun-tahun, kebijakan keamanan di Brasil memang sering dikritik karena mengedepankan kekuatan bersenjata ketimbang pendekatan sosial. Di favela-favela, garis antara warga dan tersangka sering kali kabur, dan peluru nyasar kerap merenggut nyawa anak-anak atau perempuan yang tidak bersalah.

Kini, di antara deretan jenazah yang terbungkus kain, hanya ada kesunyian dan duka. Seorang ibu muda terlihat memeluk jasad anaknya yang berusia 17 tahun. Di dekatnya, dua gadis kecil saling berpelukan sambil menangis, memandang tubuh ayah mereka yang terbujur kaku di bawah terpal bermotif bunga.

“Negara selalu datang dengan senjata, bukan dengan solusi,” ujar seorang warga paruh baya dengan suara serak. “Kami sudah terbiasa dengan kematian, tapi kali ini berbeda. Terlalu banyak yang hilang.”

Tragedi di Rio de Janeiro itu menjadi pengingat pahit bahwa di balik perang melawan narkoba, selalu ada korban manusia yang terlupakan mereka yang tidak bersenjata, tidak bersuara, tapi membayar harga paling mahal dari kekerasan tanpa akhir.

(Redaksi)