POLITIKAL.ID - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menyatakan lembaganya akan mengkaji skema impor bahan bakar minyak (BBM) satu pintu melalui Pertamina.
Hal ini buntut kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik swasta yang terjadi belakangan ini.
Qodari menegaskan akan membangun mekanisme untuk mengidentifikasi permasalahan itu hingga ke akarnya.
"Mudah-mudahan kita akan membangun suatu mekanisme dimana blind spot-blind spot itu bisa diidentifikasi dari awal, sehingga tidak menjadi pro kontra, kontroversi atau kerugian di kemudian hari, mudah-mudahan," kata Qodari di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/9).
Qodari tak memungkiri terkadang niat baik pun tak cukup, jika praktik di lapangan juga bermasalah.
Lebih lanjut ia mengatakan, terdapat banyak faktor yang menentukan itu, mulai dari masalah sosial yang kompleks, hingga implikasi tertentu yang kurang diinginkan.
Qodari berharap KSP dapat merekomendasikan mekanisme yang lebih adil.
"Kita mau kaji yang mudah-mudahan nanti kajian-kajian dari KSP ini bisa menjadi masukan, bila perlu pembanding," ujarnya.
Diketahui kelangkaan BBM ini terjadi di SPBU milik swasta seperti BP, Shell dan VIVO.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri telah meminta badan usaha swasta yang kehabisan stok BBM menjalin kerja sama dengan PT Pertamina (Persero).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah telah memberikan kuota impor 110% dibanding tahun 2024. Contohnya, jika perusahaan A mendapat kuota impor 1 juta kiloleter, maka tahun ini kuotanya naik jadi 1,1 juta kiloliter.
"Kuotanya itu 110% dibandingkan tahun lalu. Sekali lagi saya katakan bahwa, contoh perusahaan A dia mendapat 1 juta kiloliter di 2024. Di 2025, dia mendapat 1 juta plus 10%. Berarti kan 1 juta plus 100 ribu. Artinya apa? Semuanya dapat dong," ujar Bahlil di Kementerian ESDM, Rabu (17/9/2025).
Artinya, jika stok BBM milik perusahaan swasta habis dan ingin minta lebih maka bisa berkolaborasi dengan Pertamina. Alasannya karena Pertama merupakan representasi dari negara.
"Kalau mau minta lebih, ini kan menyangkut hajat hidup orang banyak, cabang-cabang industri ini. Kalau mau lebih, silakan berkolaborasi dengan Pertamina. Kenapa Pertamina? Pertamina itu representasi negara," katanya.
"Kita kan tidak mau cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini semuanya diserahkan kepada teori pasar. Nanti ada apa-apa gimana?" tambah Bahlil.
(*)