POLITIKAL.ID - Di tengah polemik nasional mengenai penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar (Purn) Soeharto, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai memilih untuk tidak memberikan komentar. Sikap diam Pigai mencuri perhatian publik, mengingat latar belakangnya sebagai mantan Komisioner Komnas HAM yang dikenal vokal dalam isu hak asasi manusia dan keadilan sosial. “Begini, pemberian penghargaan kepada Pak Harto, saya Menteri HAM, saya no comment, titik,” ujar Pigai saat ditemui awak media di Kantor Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2025). Pernyataan itu muncul sehari setelah Presiden RI Prabowo Subianto secara resmi menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh yang dinilai berjasa besar bagi perjalanan bangsa dan negara. Salah satu nama yang mencuri perhatian dalam daftar penerima adalah Soeharto, sosok yang dikenal sebagai penguasa Orde Baru selama 32 tahun, dengan warisan pembangunan ekonomi sekaligus catatan kelam pelanggaran HAM yang belum sepenuhnya terselesaikan. KemenHAM Tak Terlibat dalam Pengusulan Gelar Natalius Pigai juga menegaskan bahwa Kementerian HAM tidak memiliki kewenangan untuk merekomendasikan atau menilai siapa pun dalam proses pemberian gelar Pahlawan Nasional. Menurutnya, mekanisme penetapan telah diatur secara berjenjang melalui instansi terkait. “Kalau tidak salah, pengusulan pahlawan itu dari keluarga di kampung halaman, kemudian oleh kabupaten, provinsi, baru menyampaikan kepada pusat, lalu ada tim yang menilai. Jadi kalau urusan itu, saya kira kami tidak ada, ya, belum pernah ada,” ujarnya. Ia menjelaskan, peran Kementerian HAM berada di luar proses pengusulan gelar kehormatan, yang secara hukum dan administrasi berada di bawah kewenangan Kementerian Kebudayaan dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, serta Tanda Kehormatan (GTK). Karena itu, KemenHAM tidak pernah memberikan rekomendasi nama, termasuk terkait Soeharto. Proses Panjang Penetapan Gelar Soeharto Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025), menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh bangsa. Dalam upacara tersebut, nama Soeharto disebut sebagai salah satu penerima penghargaan tertinggi dari negara atas jasa-jasanya di bidang pemerintahan, pertahanan, dan pembangunan nasional. Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, menjelaskan bahwa keputusan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto telah melalui proses pengkajian panjang dan mendalam oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Proses tersebut disebut Fadli melibatkan para pakar lintas disiplin ilmu serta sinergi antara pemerintah daerah dan pusat. “Seluruh nama yang diajukan telah melalui penelitian dan pengkajian mendalam oleh TP2GP, melibatkan pakar lintas disiplin ilmu, serta disinergikan antara pemerintah daerah dan pusat,” kata Fadli di Istana Negara. Menurut Fadli, nama Soeharto telah diusulkan sebanyak tiga kali, pertama pada tahun 2011, kemudian 2015, dan akhirnya kembali diajukan pada tahun 2025 ini. Pada pengajuan kali ini, Soeharto menjadi salah satu dari 40 nama yang diajukan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul kepada Presiden. “Nama Soeharto telah memenuhi seluruh persyaratan administratif dan substantif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses ini berlangsung ketat, objektif, dan transparan,” jelas Fadli. Publik Masih Terbelah Keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menimbulkan beragam respons di masyarakat. Sebagian pihak menilai langkah tersebut sebagai bentuk rekonsiliasi sejarah dan pengakuan atas jasa besar Soeharto dalam membangun stabilitas ekonomi serta infrastruktur nasional. Namun, sebagian lainnya menganggap keputusan itu mengabaikan luka lama bangsa, terutama terkait pelanggaran HAM berat pada masa Orde Baru, seperti peristiwa 1965–1966, penembakan misterius (Petrus), dan penculikan aktivis pro-demokrasi menjelang Reformasi 1998. Di tengah perdebatan publik itulah, sikap Natalius Pigai yang memilih bungkam dianggap mencerminkan kehati-hatian pemerintah dalam menanggapi isu sejarah yang masih sensitif. Sebagai pejabat negara yang juga pernah menjadi aktivis HAM, Pigai tampaknya memilih menjaga netralitas agar tidak menimbulkan interpretasi politik yang berlebihan. Meski Pigai tak mengucapkan sepatah kata pun tentang substansi gelar tersebut, pernyataannya “no comment” justru mengandung makna tersirat. Beberapa pengamat menilai, diamnya Menteri HAM bukan berarti tidak memiliki pendapat, melainkan bentuk kehati-hatian dalam menjaga posisi institusional KemenHAM yang tidak terlibat langsung dalam keputusan politik terkait pemberian gelar kehormatan. Sikap ini sekaligus menandai dinamika baru dalam pemerintahan Prabowo Subianto, di mana isu-isu memori politik masa lalu mulai dihadapi dengan pendekatan berbeda: rekonsiliasi simbolik tanpa perdebatan terbuka. Dengan pernyataan singkatnya, Natalius Pigai seolah menegaskan batas antara fungsi lembaga yang ia pimpin dengan kebijakan simbolik negara. “Saya Menteri HAM, saya no comment, titik,” kalimat sederhana itu kini menjadi sorotamenggambarkan bagaimana satu kalimat diam bisa berbicara banyak tentang kompleksitas hubungan antara sejarah, politik, dan hak asasi manusia di Indonesia masa kini. (Redaksi)