POLITIKAL.ID - Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) mendesak Pemerintah Provinsi Kaltim segera melakukan evaluasi terhadap pengelolaan Mal Lembuswana, menyusul belum jelasnya laporan keuangan dan kontribusi pusat perbelanjaan tersebut terhadap pendapatan daerah.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sabaruddin Panrecalle, mengungkapkan kekhawatiran serius terkait transparansi pengelolaan salah satu aset daerah paling strategis yang berada di pusat Kota Samarinda itu. Menurutnya, sampai saat ini pihak DPRD belum pernah menerima laporan resmi dan rinci dari pihak pengelola mal terkait setoran ke kas daerah.
“Kita sudah minta laporan resmi dari pengelola Mal Lembuswana, tapi belum diberikan. Ini tidak bisa dibiarkan. Aset sebesar itu seharusnya ada kontribusi yang jelas bagi daerah,” tegas Sabaruddin saat diwawancarai di Gedung DPRD Kaltim.
Sesuai dengan perjanjian awal, Pemprov Kaltim memang berkewajiban untuk melakukan evaluasi dua tahun sebelum kontrak sewa berakhir. Dan kini, waktu tersebut telah tiba. Namun, absennya data dan laporan keuangan membuat DPRD meragukan efektivitas dan manfaat dari perpanjangan kontrak.
Sabaruddin menekankan bahwa evaluasi ini tidak bisa dianggap sebagai prosedur rutin belaka, melainkan langkah penting untuk menentukan kelanjutan atau penghentian kontrak pengelolaan. Ia menilai, selama ini pengelolaan aset tersebut belum memberikan dampak signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Ini bukan soal memperpanjang atau tidak, tapi menyangkut manfaat dan akuntabilitas. Evaluasi ini menyangkut masa depan aset daerah yang bernilai tinggi. Kalau pengelolaannya tidak transparan, tentu sulit untuk kita lanjutkan,” jelasnya.
Ia juga mempertanyakan apakah nilai sewa yang disetorkan selama ini sudah sebanding dengan potensi komersial yang dimiliki mal tersebut.
Lebih lanjut, Komisi II DPRD Kaltim akan mengambil langkah konkret dalam beberapa waktu ke depan. Salah satunya adalah mengundang pihak pengelola Mal Lembuswana untuk hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP) guna menjelaskan semua data yang dibutuhkan, termasuk laporan keuangan, nilai investasi, serta kontribusi pajak dan retribusi.
“Kalau pengelola tidak kooperatif, kita akan pertimbangkan opsi-opsi hukum dan administratif. Aset strategis tidak boleh dikelola asal-asalan. Harus profesional, terbuka, dan menguntungkan daerah,” ucap Sabaruddin.
Komisi II juga akan mendorong Pemprov untuk melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan mal tersebut, bekerja sama dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Inspektorat, dan pihak terkait lainnya.
Sabaruddin menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa DPRD tidak sedang mencari masalah, tetapi ingin memperbaiki sistem pengelolaan aset daerah secara menyeluruh. Kasus Lembuswana menurutnya bisa menjadi pintu masuk untuk membenahi tata kelola aset lainnya.
“Kita tidak mau aset-aset pemprov hanya jadi simbol kemegahan di tengah kota, tapi tidak memberi manfaat nyata. Harus ada perubahan dalam pengelolaan. Harus efisien, transparan, dan berpihak pada masyarakat,” pungkasnya.
(Adv)