POLITIKAL.ID – Penganugerahan Bank Sampah Unit Terbaik Tahun 2025 se-Kota Samarinda yang digelar Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di Ballroom Swiss-Belhotel Borneo Samarinda, Rabu (30/10/2025).
Kegiatan ini menjadi bentuk apresiasi pemerintah kepada para penggiat lingkungan, khususnya para pengelola bank sampah, kecamatan, dan kelurahan pembina terbaik mereka dinilai berhasil tidak hanya mengolah sampah menjadi bernilai ekonomi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran warga untuk memilah dan mengelola sampah dari sumbernya.
Plt Kepala DLH Kota Samarinda, Suwarso, menegaskan bahwa penghargaan ini bukan sekadar seremoni, melainkan dorongan moral bagi masyarakat agar terus menumbuhkan budaya peduli lingkungan.
“Hari ini kita memberikan apresiasi kepada para penggiat pengelolaan sampah di Kota Samarinda khususnya kepada bank-bank sampah unit yang telah melakukan pengelolaan dengan baik, baik dari sisi pengurangan sampah maupun dari sisi nilai ekonominya,” ujar Suwarso.
Menurut Suwarso, penghargaan ini bersifat stimulan agar para pengelola bank sampah semakin bersemangat dan mampu menularkan pengaruh positif kepada kelompok masyarakat lain di lingkungannya.
“Nilai penghargaan ini kami anggap cukup, karena sebetulnya ini hanya stimulan. Tujuannya menumbuhkan semangat agar para penggiat lingkungan terus mengembangkan diri. Harapannya, gerakan ini bisa menyebar dan menginspirasi masyarakat lainnya,” katanya.
Ia menegaskan, bank sampah bukan hanya alat pengelolaan limbah rumah tangga, tetapi juga wadah pembelajaran sosial dan ekonomi bagi warga. Dari memilah, menabung, hingga mengolah, warga diajak memahami bahwa menjaga lingkungan bisa berjalan seiring dengan menyejahterakan diri.
Menariknya, DLH Samarinda juga mulai melibatkan kalangan mahasiswa dalam pembentukan dan pengelolaan bank sampah. Langkah ini dianggap penting untuk memastikan regenerasi dan inovasi dalam pengelolaan sampah di masa depan.
“Beberapa waktu lalu, Wali Kota dan Wakil Wali Kota melibatkan mahasiswa dalam pembuatan bank sampah. Kami dari DLH siap melakukan pendampingan. Tapi dua sisi harus proaktif—baik mahasiswa maupun kami sendiri,” jelasnya.
Ia berharap, bank sampah yang dibentuk oleh mahasiswa tidak berhenti pada tahap seremoni, tetapi terus berkembang menjadi model nyata pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
“Harusnya yang sudah dibentuk itu tidak berhenti, tapi benar-benar berjalan. Kita punya contoh nyata dari kelompok masyarakat yang berhasil,” tuturnya.
Ia memaparkan, hingga tahun 2025 tercatat 90 unit bank sampah yang aktif di seluruh Kota Samarinda. Jumlahnya memang belum melonjak signifikan, namun peningkatan partisipasi masyarakat melalui jumlah nasabah justru tumbuh pesat.
“Dari sisi jumlah unit tidak terlalu banyak meningkat, tapi dari sisi nasabah luar biasa. Tahun ini ada sekitar 490 penambahan nasabah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa ada inovasi menarik dari salah satu bank sampah di Samarinda yang kini berani memberikan pinjaman tanpa bunga kepada anggotanya. Sistem tersebut dinilai dapat menjadi solusi alternatif ekonomi bagi masyarakat.
“Bahkan saya sampaikan, ini bisa mengeliminasi pinjol (pinjaman online), karena ada bank sampah yang berani meminjamkan keuangannya tanpa bunga. Selisih sekitar Rp10 ribu per Rp500 ribu itu hanya untuk biaya administrasi, dan itu masih wajar,” ujarnya.
Meski semangat pengelolaan sampah sudah meluas, ia mengakui bahwa belum semua wilayah di Samarinda aktif berpartisipasi dalam lomba bank sampah tahun ini. Dari 59 kelurahan, baru sekitar 20 yang ikut berkompetisi.
“Dari 59 kelurahan, baru sekitar 20 yang ikut lomba. Sebetulnya hampir semua sudah memiliki bank sampah, hanya saja ada beberapa persyaratan yang belum terpenuhi. Mudah-mudahan ke depan mereka bisa ikut berpartisipasi,” ucapnya.
Ia berharap penghargaan ini bisa memotivasi kelurahan lain untuk bergerak bersama, bukan karena imbalan ekonomi semata, tetapi karena kesadaran akan pentingnya mencintai lingkungan.
Lebih jauh, ia juga mengingatkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya soal kebersihan, tapi juga soal keselamatan dan menilai, banyak bencana terjadi bukan tanpa sebab, melainkan akibat rendahnya kepedulian terhadap alam.
“Bencana itu tidak terjadi begitu saja. Ada penyebabnya misalnya kita tidak mencintai lingkungan, tidak menanam pohon, tidak mengelola sampah. Akibatnya sumbatan-sumbatan terjadi di pojokan-pojokan kota,” ujarnya.
Menurutnya, setiap warga memiliki peran kecil namun penting. Dengan memilah sampah, menabung di bank sampah, dan menanam pohon, masyarakat sejatinya telah ikut mengurangi risiko bencana dan menjaga keberlanjutan kota.
“Kalau semua bergerak, mengambil peran, memilah dan mengelola sampah, maka bencana juga akan berkurang. Kebaikan akan kembali kepada mereka yang mencintai lingkungannya,” pungkasnya.
(*)