IMG-LOGO
Home Nasional Dukungan dan Penolakan Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
nasional | umum

Dukungan dan Penolakan Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

oleh Hasa - 06 November 2025 07:38 WITA
IMG
Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional

POLITIKAL.ID - Dukungan terhadap pengangkatan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka.

Kali ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menyatakan sikap positif terhadap usulan tersebut.

Mereka menilai Soeharto memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa yang layak diapresiasi dalam bentuk gelar kepahlawanan.

Pernyataan Resmi dari PP Muhammadiyah

Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menyampaikan bahwa Soeharto adalah tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang kontribusinya tidak bisa diabaikan.

"Kami mendukung Bapak Soeharto sebagai pahlawan nasional karena beliau sangat berjasa kepada Republik Indonesia, sejak masa revolusi kemerdekaan hingga masa pembangunan," kata Dadand di Jakarta, Rabu (5/11) dikutip dari CNNIndonesia.

Menurut dia, Soeharto turut berjuang dalam perang gerilya dan memainkan peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi momentum strategis bagi pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Selama menjabat sebagai presiden, lanjutnya, Soeharto juga dinilai berhasil melaksanakan berbagai program pembangunan terencana melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dadang menambahkan keberhasilan kepemimpinan Soeharto antara lain tercermin dari swasembada beras pada dekade 1980-an, program Keluarga Berencana (KB) yang berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk, serta stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang terjaga selama masa pemerintahannya.

"Ketika kita menghargai jasa kepahlawanan seseorang, jangan dilihat dari perbedaan politik atau kepentingan apapun, kecuali kepentingan bangsa dan negara, terlepas dari kekurangan dan kesalahan seseorang," ujarnya.

PBNU dukung Soeharto dan Gus Dur jadi pahlawan nasional

Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) turut menyatakan dukungannya terhadap usulan Kementerian Sosial kepada Dewan Gelar untuk menetapkan Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Pahlawan Nasional.

Menurut Gus Fahrur, bangsa Indonesia perlu belajar dari masa lalu baik dari kebaikan maupun kekurangannya untuk membangun masa depan yang lebih bijak dan berkeadaban.

"Dalam tradisi keilmuan Islam, ada kaidah penting: Al-muhafazhah 'ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik," ujar Gus Fahrur di Jakarta, Rabu (5/11).

Gus Fahrur menilai Soeharto maupun Gus Dur memiliki kontribusi besar terhadap bangsa dalam dua fase sejarah yang berbeda.

"Pak Harto berjasa besar dalam stabilisasi nasional dan pembangunan ekonomi. Di masa beliau, Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu macan ekonomi baru Asia, dengan program pembangunan yang terencana dan stabilitas ekonomi serta keamanan yang tinggi," kata dia.

Selain itu, kata Gus Fahrur, Soeharto juga memiliki jasa besar di bidang sosial-keagamaan. Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menurutnya berjasa besar dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan rekonsiliasi bangsa pasca reformasi.

"Keduanya punya jasa luar biasa dalam membangun bangsa di masa-masa sulit. Menetapkan mereka sebagai Pahlawan Nasional bukan berarti meniadakan kritik atas kekurangan yang pernah ada, tetapi bentuk penghargaan atas jasa besar yang telah mereka berikan," kata Gus Fahrur.

Dapat Penolakan dari KIKA

Sebelumnya usulan Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia untuk memasukkan nama Soeharto, Presiden RI ke-2, dalam daftar calon penerima gelar Pahlawan Nasional memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan. 

Salah satu penolakan paling vokal datang dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

KIKA menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan pengaburan sejarah kelam bangsa

Dalam pernyataannya, KIKA menyebut bahwa mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan hanya tindakan yang ahistoris, tetapi juga melukai nurani korban pelanggaran HAM berat yang terjadi selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya.

“Pemberian gelar kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan demokrasi. Itu akan menjadi luka baru bagi para korban Orde Baru,” tegas KIKA.

Serangkaian Pelanggaran HAM

Selama 32 tahun berkuasa (1966–1998), Soeharto menjalankan pemerintahan dengan kontrol ketat terhadap politik, ekonomi, dan kebebasan sipil. Sejarah mencatat, masa pemerintahannya di warnai oleh serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk:

* Tragedi 1965–1966 yang menewaskan ratusan ribu orang atas tuduhan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
* Penembakan Misterius (Petrus) pada 1980-an untuk menumpas kriminalitas dengan cara di luar hukum.
* Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari Lampung (1989) yang menelan banyak korban sipil.
* Operasi militer di Aceh (DOM 1989–1998) dengan catatan pelanggaran HAM di Rumoh Geudong dan Pos Sattis.
* Penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi (1997–1998) serta tragedi Trisakti, Semanggi I dan II menjelang kejatuhannya.

Selain itu, pada masa akhir kekuasaannya, Indonesia juga terguncang oleh kerusuhan Mei 1998, yang menandai puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintahan otoriter dan korup.

Soeharto bukan hanya identik dengan kekerasan negara, tetapi juga korupsi yang terstruktur dan sistemik. Dalam laporan Transparency International tahun 2004, ia dinobatkan sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana publik mencapai US$15–35 miliar.

KKN dan Warisan Orde Baru

Warisan Orde Baru juga meninggalkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang mengakar di berbagai lini pemerintahan, serta pembungkaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpikir, termasuk di lingkungan akademik.

“Soeharto membangun sistem kekuasaan yang mengutamakan loyalitas di atas integritas, dan ketakutan di atas kebebasan,” tulis KIKA dalam pernyataannya.

“Mengabadikan namanya sebagai pahlawan berarti menormalkan kembali warisan otoritarianisme itu.”

KIKA menilai wacana tersebut bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga menghadirkan ironi sejarah yang menyakitkan. Pasalnya, dalam daftar yang sama, nama Marsinah — buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak-hak pekerja pada masa Orde Baru — juga diusulkan menjadi pahlawan nasional.

“Menjadikan Soeharto dan Marsinah dalam satu daftar penghargaan adalah penghinaan terhadap nalar sejarah dan keadilan sosial,” tulis pernyataan KIKA.

Marsinah selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan negara, sementara Soeharto sebagai arsitek sistem represif yang menindas kebebasan berserikat dan berpikir kritis.

Fakta lain yang membuat wacana ini semakin kontradiktif adalah pengakuan resmi pemerintah terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagaimana Presiden Joko Widodo sampaikan pada Januari 2023.

Sebagian besar peristiwa yang di akui pemerintah tersebut terjadi di bawah kekuasaan Orde Baru, termasuk tragedi Trisakti, penghilangan paksa aktivis, hingga operasi militer di Aceh dan Papua.

“Jika negara sudah mengakui bahwa pelanggaran itu terjadi di masa Soeharto, bagaimana mungkin kini negara justru hendak memberinya gelar pahlawan?” ujar KIKA.

KIKA juga memperingatkan bahwa melanjutkan usulan pemberian gelar kepada Soeharto bisa menjadi titik balik berbahaya dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Menurut mereka, langkah itu dapat menjadi simbol “kematian moral” dari semangat reformasi yang lahir tahun 1998.

“Jika wacana ini diteruskan, maka reformasi bisa berakhir secara simbolik di tangan pemerintahan saat ini,” tulis mereka, menyinggung masa pemerintahan Presiden Prabowo.

Reformasi 1998, tegas KIKA, merupakan mandat moral rakyat untuk menegakkan pemerintahan yang demokratis, transparan, dan menghormati hak asasi manusia.

KIKA menegaskan komitmennya untuk terus berdiri bersama korban pelanggaran HAM, keluarga korban, dan masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan.

Bagi mereka, ingatan sejarah bukan untuk membangkitkan dendam, melainkan untuk memastikan tragedi masa lalu tidak kembali terulang.

“Sejarah tidak boleh ada manipulasi demi kepentingan politik kekuasaan.
Tugas kita menjaga kebenaran, agar bangsa ini tidak tersesat oleh amnesia yang di sengaja,” tutup pernyataan KIKA.

(*)

Berita terkait