IMG-LOGO
Home Nasional Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, KIKA Suarakan Penolakan
nasional | umum

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, KIKA Suarakan Penolakan

oleh Hasa - 01 November 2025 11:14 WITA
IMG
KIKA Suarakan Penolakan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

POLITIKAL.ID -  Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dengan tegas menyuarakan penolakan usulan memasukkan nama Soeharto, Presiden RI ke-2, dalam daftar penerima gelar Pahlawan Nasional.

Sebagaimana diketahui, usulan ini datang dari Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia.

KIKA mengatakan, pemberian gelar pahlawan nasional ke Soeharto bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan pengaburan sejarah kelam bangsa. Bukan hanya tindakan yang ahistoris, tetapi juga melukai nurani korban pelanggaran HAM berat yang terjadi selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya.

“Pemberian gelar kepada Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan demokrasi. Itu akan menjadi luka baru bagi para korban Orde Baru,” tegas KIKA.

Serangkaian Pelanggaran HAM

Selama 32 tahun berkuasa (1966–1998), Soeharto menjalankan pemerintahan dengan kontrol ketat terhadap politik, ekonomi, dan kebebasan sipil. Sejarah mencatat, masa pemerintahannya di warnai oleh serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk:

* Tragedi 1965–1966 yang menewaskan ratusan ribu orang atas tuduhan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
* Penembakan Misterius (Petrus) pada 1980-an untuk menumpas kriminalitas dengan cara di luar hukum.
* Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari Lampung (1989) yang menelan banyak korban sipil.
* Operasi militer di Aceh (DOM 1989–1998) dengan catatan pelanggaran HAM di Rumoh Geudong dan Pos Sattis.
* Penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi (1997–1998) serta tragedi Trisakti, Semanggi I dan II menjelang kejatuhannya.

Selain itu, pada masa akhir kekuasaannya, Indonesia juga terguncang oleh kerusuhan Mei 1998, yang menandai puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintahan otoriter dan korup.

Soeharto bukan hanya identik dengan kekerasan negara, tetapi juga korupsi yang terstruktur dan sistemik. Dalam laporan Transparency International tahun 2004, ia dinobatkan sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penggelapan dana publik mencapai US$15–35 miliar.

KKN dan Warisan Orde Baru

Warisan Orde Baru juga meninggalkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang mengakar di berbagai lini pemerintahan, serta pembungkaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan berpikir, termasuk di lingkungan akademik.

“Soeharto membangun sistem kekuasaan yang mengutamakan loyalitas di atas integritas, dan ketakutan di atas kebebasan,” tulis KIKA dalam pernyataannya.

“Mengabadikan namanya sebagai pahlawan berarti menormalkan kembali warisan otoritarianisme itu.”

KIKA menilai wacana tersebut bukan hanya bermasalah secara moral, tetapi juga menghadirkan ironi sejarah yang menyakitkan. Pasalnya, dalam daftar yang sama, nama Marsinah — buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak-hak pekerja pada masa Orde Baru — juga diusulkan menjadi pahlawan nasional.

“Menjadikan Soeharto dan Marsinah dalam satu daftar penghargaan adalah penghinaan terhadap nalar sejarah dan keadilan sosial,” tulis pernyataan KIKA.

Marsinah selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan negara, sementara Soeharto sebagai arsitek sistem represif yang menindas kebebasan berserikat dan berpikir kritis.

Fakta lain yang membuat wacana ini semakin kontradiktif adalah pengakuan resmi pemerintah terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, sebagaimana Presiden Joko Widodo sampaikan pada Januari 2023.

Sebagian besar peristiwa yang di akui pemerintah tersebut terjadi di bawah kekuasaan Orde Baru, termasuk tragedi Trisakti, penghilangan paksa aktivis, hingga operasi militer di Aceh dan Papua.

“Jika negara sudah mengakui bahwa pelanggaran itu terjadi di masa Soeharto, bagaimana mungkin kini negara justru hendak memberinya gelar pahlawan?” ujar KIKA.

KIKA juga memperingatkan bahwa melanjutkan usulan pemberian gelar kepada Soeharto bisa menjadi titik balik berbahaya dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Menurut mereka, langkah itu dapat menjadi simbol “kematian moral” dari semangat reformasi yang lahir tahun 1998.

“Jika wacana ini diteruskan, maka reformasi bisa berakhir secara simbolik di tangan pemerintahan saat ini,” tulis mereka, menyinggung masa pemerintahan Presiden Prabowo.

Reformasi 1998, tegas KIKA, merupakan mandat moral rakyat untuk menegakkan pemerintahan yang demokratis, transparan, dan menghormati hak asasi manusia.

Empat Poin yang Disuarakan KIKA

Sebagai bentuk tanggung jawab moral akademik, KIKA menyerukan empat hal penting kepada pemerintah dan publik:
1. Menolak tegas wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
2. Menuntut negara mengakui dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu serta memberikan keadilan kepada para korban.
3. Menegaskan pentingnya kebebasan akademik dan kejujuran sejarah agar tidak terjadi pemutihan atas kejahatan masa lalu.
4. Mengajak masyarakat sipil dan civitas akademika untuk menjaga semangat reformasi dan menolak normalisasi kekuasaan otoriter.
“Bangsa yang melupakan luka sejarahnya akan kehilangan arah moralnya,” tulis KIKA.

“Menjadikan Soeharto pahlawan berarti menghapus jejak kejahatan negara dan melecehkan ingatan para korban.”

KIKA menegaskan komitmennya untuk terus berdiri bersama korban pelanggaran HAM, keluarga korban, dan masyarakat sipil yang memperjuangkan keadilan.

Bagi mereka, ingatan sejarah bukan untuk membangkitkan dendam, melainkan untuk memastikan tragedi masa lalu tidak kembali terulang.

“Sejarah tidak boleh ada manipulasi demi kepentingan politik kekuasaan.
Tugas kita menjaga kebenaran, agar bangsa ini tidak tersesat oleh amnesia yang di sengaja,” tutup pernyataan KIKA.

(tim redaksi)



Berita terkait