POLITIKAL.ID - Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda meresmikan Taman Para’an, sebuah taman kota berkonsep hijau dan berkelanjutan yang menjadi pelopor dalam penggunaan energi terbarukan secara mandiri. Taman ini berdiri megah di bantaran Sungai Karang Mumus (SKM), tepat di sisi Jembatan Nibung, Pasar Segiri, dan menjadi simbol baru kota yang menuju transisi energi ramah lingkungan.
Berbeda dengan taman-taman kota pada umumnya, Taman Para’an tidak menggunakan satu pun aliran listrik dari PLN. Seluruh kebutuhan energi, mulai dari pencahayaan, sistem pengairan taman, hingga fasilitas publik lainnya, dipasok sepenuhnya dari panel surya berkapasitas 5.000 Watt dan turbin angin mini yang telah dipasang di beberapa titik taman.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menyatakan bahwa langkah ini adalah bagian dari komitmen kota dalam menghadapi krisis iklim global dan membuktikan bahwa penggunaan energi bersih bisa dimulai dari ruang publik yang paling dekat dengan masyarakat.
“Ini bukti bahwa energi terbarukan bisa hidup di tengah kota. Biasanya turbin angin hanya kita lihat di gunung atau pantai, sekarang bisa kita lihat di Samarinda, di tengah pasar, di tengah kota. Dan ini semua dikelola oleh masyarakat yang sudah kita latih. Mereka bukan hanya jaga taman, tapi juga jaga masa depan,” ucap Andi Harun saat memberikan sambutan peresmian.
Salah satu aspek unik dari Taman Para’an adalah keterlibatan aktif warga dalam pengelolaan teknologinya. Pemerintah kota, melalui program pelatihan dan pendampingan, telah membentuk tim masyarakat lokal yang bertugas mengoperasikan, memelihara, dan memantau sistem energi di taman.
“Taman ini tidak hanya dibangun untuk masyarakat, tapi juga oleh dan bersama masyarakat. Warga sekitar dilatih untuk memahami sistem energi, mulai dari panel surya hingga turbin angin mini. Jadi mereka benar-benar menjadi penjaga energi bersih di kota ini,” tambah Andi Harun.
Selain teknologi energinya, Taman Para’an juga dirancang dengan pendekatan adaptif terhadap perubahan iklim. Seluruh material taman didominasi oleh elemen alami dan ramah lingkungan, termasuk jalur pedestrian permeabel yang mampu menyerap air hujan untuk mencegah genangan.
Desain taman ini juga mengusung prinsip resiliensi iklim, menyediakan ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan warga saat terjadi suhu ekstrem atau bencana lingkungan, seperti banjir. Ruang-ruang hijau dan vegetasi lokal dipilih untuk menjaga kestabilan ekosistem mikro setempat.
Taman Para’an diharapkan menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia dalam merancang ruang publik berkelanjutan yang tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memberdayakan warga.
“Kami ingin menjadikan ini sebagai model. Samarinda menunjukkan bahwa taman kota bisa menjadi pusat energi bersih, pusat edukasi, dan pusat pemberdayaan masyarakat. Ini baru awal,” tutup Andi Harun.
(Adv)