POLITIKAL.ID - Persoalan ganti rugi lahan warga terdampak proyek Jalan Ring Road II di Samarinda kembali mencuat. Konflik berkepanjangan ini belum juga menemui titik terang, terutama akibat status lahan yang belakangan diklaim sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh pemerintah pusat.
Melihat peliknya persoalan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur (DPRD Kaltim) mendesak agar penyelesaian perkara ini diambil alih langsung oleh Kementerian Transmigrasi.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kaltim bersama berbagai pihak, Selasa (17/6/2025).
Rapat tersebut menghadirkan perwakilan warga, kuasa hukum, serta sejumlah instansi teknis seperti Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (PUPR PERA) Kaltim dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dalam forum tersebut, kuasa hukum warga, Abdurrahim, menekankan bahwa lahan yang kini digugat status hukumnya itu telah dikelola warga selama puluhan tahun tanpa gangguan atau klaim dari pemerintah. Namun, saat proses ganti rugi hendak dilakukan, tiba-tiba muncul klaim HPL yang dikatakan telah ditetapkan sejak 1981.
“Ini sangat janggal. Warga tidak pernah melepas hak atas tanah mereka, tidak pernah diinformasikan adanya HPL selama bertahun-tahun mereka tinggal dan mengelola lahan. Namun mendadak pada 2023 status HPL itu digunakan sebagai alasan untuk menolak pembayaran ganti rugi,” ujar Abdurrahim.
Menurutnya, sedikitnya sembilan warga telah mengajukan tuntutan resmi atas hak ganti rugi lahan. Mereka memiliki bukti-bukti kuat berupa penguasaan fisik dan pemanfaatan lahan yang berlangsung lama dan berkelanjutan.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menyatakan sikap tegas dalam membela warga. Ia menegaskan bahwa DPRD tidak akan tinggal diam menyaksikan rakyat kecil dirugikan oleh tumpang tindih administrasi negara.
“Kami melihat ini bukan hanya persoalan administratif. Ini menyangkut rasa keadilan bagi warga yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidup di lahan tersebut. DPRD Kaltim siap mengawal masalah ini sampai ke Kementerian Transmigrasi,” ujar Demmu.
Ia juga menambahkan, bila status hukum lahan dapat diperjelas, maka tidak ada lagi alasan hukum bagi negara untuk menahan hak ganti rugi warga.
Sementara itu, pihak Dinas PUPR PERA Kaltim menjelaskan bahwa proses ganti rugi belum dapat dilanjutkan karena status hukum lahan belum terselesaikan.
Sengketa yang belum selesai dikhawatirkan justru menjadi masalah hukum baru apabila pembayaran dipaksakan.
“Kami menunggu kejelasan status lahan. Tanpa itu, anggaran negara tidak bisa dicairkan karena ada risiko hukum,” kata perwakilan dinas saat RDP.
Situasi ini dikhawatirkan akan berdampak pada kelancaran pembangunan Ring Road II yang merupakan proyek strategis untuk mengurai kemacetan dan membuka akses ekonomi baru di wilayah Samarinda dan sekitarnya.
Sebagai penutup RDP, DPRD Kaltim menegaskan komitmennya untuk memastikan negara hadir dalam menjamin hak-hak masyarakat yang terdampak pembangunan infrastruktur strategis.
“Kita butuh jalan, kita butuh pembangunan. Tapi jangan sampai itu dibayar dengan mengorbankan hak warga. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan justru sebagai pihak yang menciptakan ketidakpastian hukum,” pungkas Baharuddin Demmu.
(Adv)