POLITIKAL.ID -Kejaksaan Agung bergerak cepat menyikapi dugaan keterlibatan hakim dalam kasus suap vonis lepas perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit (CPO) periode 2021–2022.
Penyidik menjemput paksa Hakim Djuyamto pada Minggu (13/4) malam setelah yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan pemeriksaan.
Hakim Djuyamto diketahui merupakan Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan dalam perkara tersebut. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, penyidik awalnya telah memberi kesempatan kepada Djuyamto untuk hadir secara sukarela, namun hingga malam hari yang bersangkutan tak kunjung muncul. “Sudah kita tunggu sampai malam ini dan berdasarkan informasi, penyidik sedang melakukan penjemputan,” ujar Harli kepada wartawan.
Sementara itu, dua anggota majelis hakim lainnya, yakni Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom, saat ini masih menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Keduanya merupakan bagian dari tim yang menangani perkara korporasi dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah yang mengundang sorotan publik.
“Sejak tadi pagi penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap dua saksi yang merupakan tim dari majelis hakim yang menangani perkara terkait dengan korporasi,” imbuh Harli.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini.
Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, serta panitera muda Wahyu Gunawan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar mengungkapkan, terdapat bukti pemberian suap senilai Rp60 miliar yang diberikan oleh pihak pengacara korporasi kepada hakim melalui perantara panitera.
Uang suap tersebut diduga diberikan agar majelis hakim memberikan putusan onslaght—vonis lepas karena dianggap bukan merupakan tindak pidana—terhadap tiga perusahaan besar, yakni PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group.
Abdul Qohar menyatakan, meskipun unsur-unsur hukum dalam dakwaan sebenarnya terpenuhi, putusan majelis justru menyatakan tidak ada perbuatan pidana.
Hal inilah yang kemudian memicu penyidikan atas kemungkinan suap dan intervensi dalam proses peradilan.
“Jadi perkaranya tidak terbukti, walaupun secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, tetapi menurut pertimbangan majelis hakim bukan merupakan tindak pidana,” kata Qohar.
Kini, Kejaksaan Agung terus mendalami aliran dana dan dugaan keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk dari kalangan hakim yang semestinya menjaga integritas lembaga peradilan.
Langkah tegas ini dinilai penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
(Redaksi)