POLITIKAL.ID - Bareskrim Polri telah menyatakan ijazah Presiden Joko Widodo otentik dan identik dengan milik tiga rekan seangkatannya di Universitas Gadjah Mada (UGM),namun perdebatan belum mereda. Pakar telematika Roy Suryo menilai proses pembuktian belum menyentuh aspek transparansi yang diharapkan publik.
Menurut Roy, pernyataan resmi Mabes Polri yang menyebut ijazah Jokowi 'identik dan otentik' belum sepenuhnya menjawab keraguan masyarakat. Ketiadaan bukti fisik di ruang publik, seperti penunjukan langsung dokumen asli, justru menimbulkan pertanyaan baru.
“Mostly pendapat publik malah jadi meragukan hasil tersebut dan menjatuhkan citra Mabes Polri, apalagi ijazah aslinya juga tidak ditunjukkan,” kata Roy Suryo kepada dilansir Kompas.com, Jumat (23/5/2025).
Roy menilai hasil dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri hanya merupakan bagian dari proses investigasi dan bukan kesimpulan akhir. Istilah "identik", menurutnya, tidak bisa langsung diterjemahkan sebagai bukti otentik secara hukum.
“Silakan disimak pernyataan saya sebelumnya. Hasil Puslabfor ini belum final. Ini hanya bagian dari proses pembuktian, belum menyentuh substansi otentisitas secara menyeluruh,” tegasnya.
Roy juga mengkritik penggunaan sampel pembanding yang dianggapnya tidak transparan. Ia meminta agar ada pembukaan dokumen yang bisa diverifikasi oleh publik atau pihak ketiga independen.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, menyampaikan bahwa hasil uji laboratorium menyatakan ijazah Jokowi valid dan tidak ditemukan kejanggalan.
Penelitian tersebut melibatkan pembandingan elemen-elemen fisik ijazah seperti jenis kertas, tulisan tangan, hingga map penyimpanan.
“Map yang digunakan untuk menyimpan ijazah Pak Jokowi itu masih sama persis dengan map milik rekan-rekannya. Bahkan map tersebut kondisinya sudah kumal,” kata Djuhandhani dalam konferensi pers, Kamis (22/5/2025).
Ia menyatakan uji tersebut dilakukan terhadap dokumen asli milik Jokowi, serta tiga ijazah pembanding dari alumni UGM angkatan yang sama.
Meski secara teknis hasil pemeriksaan telah dirilis, kritik Roy Suryo mencerminkan masih adanya ruang gelap dalam proses komunikasi penyelidikan kepada publik. Dalam konteks hukum dan demokrasi, hal tersebut menjadi penting karena menyangkut kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Kasus ini menunjukkan bahwa penyampaian hasil penyelidikan tidak cukup hanya dilakukan melalui pernyataan institusi. Keterbukaan, akses data, dan pelibatan lembaga independen dapat menjadi langkah penting untuk menjembatani persepsi masyarakat yang kini terbelah.
(Redaksi)