IMG-LOGO
Home Internasional Perang Narkoba di Rio Berubah Jadi Tragedi, 64 Orang Tewas dalam Operasi Polisi Terbesar Brasil
internasional | umum

Perang Narkoba di Rio Berubah Jadi Tragedi, 64 Orang Tewas dalam Operasi Polisi Terbesar Brasil

oleh VNS - 29 Oktober 2025 13:15 WITA
IMG
Polisi dan pasukan keamanan Brazil melakukan persiapan sebelum operasi penggerebekan atas perkampungan Vila Cruzeiro di pinggiran kota Rio de Janeiro. foto: Ist


POLITIKAL.ID - Apa yang semula disebut sebagai operasi keamanan terbesar dalam sejarah Rio de Janeiro berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Sedikitnya 64 orang tewas, termasuk empat polisi, dalam bentrokan berdarah antara aparat dan geng narkoba di kawasan kumuh kota tersebut pada Selasa (28/10/2025).

Suara tembakan menggema di antara rumah-rumah sempit di Complexo da Penha dan Complexo do Alemão, dua kawasan paling berbahaya di utara Rio de Janeiro. Asap hitam membumbung, sirene meraung, dan warga berlarian mencari perlindungan.

Dalam hitungan jam, operasi antinarkoba yang digadang sebagai “terbesar sepanjang sejarah Rio” itu berubah menjadi medan perang.

Menurut laporan resmi Pemerintah Negara Bagian Rio de Janeiro, sebanyak 60 orang tewas diidentifikasi sebagai anggota geng narkoba, sementara empat lainnya merupakan aparat keamanan yang turut menjadi korban dalam baku tembak. Operasi ini digambarkan sebagai perang terbuka di jantung kota Rio, melibatkan ribuan personel dan peralatan militer berat.

Operasi tersebut berlangsung di dua kawasan kumuh paling rawan di Rio utara, yaitu Complexo da Penha dan Complexo do Alemão, yang selama ini dikenal sebagai markas jaringan narkotika terbesar di Brasil, Comando Vermelho (Komando Merah).

Namun, angka kematian yang tinggi langsung memicu kritik keras dari lembaga hak asasi manusia dan anggota parlemen.

“Pemerintah negara bagian memperlakukan favela seperti wilayah musuh, memberi izin untuk menembak dan membunuh tanpa pandang bulu,” tulis Anggota Kongres Henrique Vieira di platform X.

Komisi HAM Majelis Legislatif Rio turut menuntut klarifikasi dari Gubernur Claudio Castro.

“Sekali lagi, operasi ini mengubah permukiman rakyat menjadi medan perang. Ini bukan solusi terhadap kejahatan, melainkan bentuk barbarisme,” kata Anggota Kongres Dani Monteiro.

Operasi dengan Skala Militer

Sekitar 2.500 polisi bersenjata lengkap dikerahkan, dibantu dua helikopter tempur, 32 kendaraan lapis baja, dan 12 alat berat penghancur barikade. Operasi berlangsung hampir 12 jam nonstop, menargetkan jantung kekuasaan Comando Vermelho.

Gubernur Claudio Castro membela langkahnya dengan menyebut operasi itu sebagai “keberhasilan besar”.

“Tujuan utama operasi ini adalah menghentikan ekspansi Comando Vermelho yang semakin berani memperluas wilayah kekuasaan di Rio,” katanya.

Polisi juga menyita 42 senapan serbu, ribuan peluru, dan ratusan paket narkotika siap edar. Sebanyak 81 orang ditangkap.

Namun, di balik statistik tersebut, kesaksian warga menggambarkan suasana yang mencekam.

“Tembakan tidak berhenti sejak pagi. Kami tiarap di lantai berjam-jam,” kata seorang warga Penha kepada AFP.

Ribuan penduduk mengungsi ke gereja, sekolah, dan pusat komunitas, sementara sebagian lainnya terjebak di dalam rumah tanpa makanan dan listrik.

Kebijakan yang Memicu Polemik

Kritik terhadap operasi besar ini tak lepas dari kebijakan Mahkamah Agung Brasil (MA) yang pada awal 2025 mencabut pembatasan operasi polisi di kawasan padat penduduk.

Sejak 2020, MA sempat membatasi penggunaan helikopter dan operasi di dekat sekolah setelah serangkaian insiden menewaskan warga sipil, termasuk anak-anak. Namun, pencabutan larangan itu membuka kembali jalan bagi operasi berskala militer seperti yang terjadi di Rio.

Menurut Forum Keamanan Publik Brasil (FBSP), sepanjang 2024 saja terdapat 700 korban jiwa akibat operasi kepolisian di Rio atau rata-rata dua orang tewas setiap hari.

Kini, angka 64 korban dalam satu hari menjadikan operasi ini yang paling mematikan dalam sejarah modern Brasil, melampaui tragedi Jacarezinho pada Mei 2021 yang menewaskan 28 orang.

Dilema Antara Keamanan dan Kemanusiaan

Pemerintah menilai operasi itu sebagai sinyal ketegasan negara melawan geng narkoba. Namun bagi banyak warga dan kelompok HAM, langkah itu justru menegaskan bahwa kehidupan masyarakat miskin di favela dianggap tidak bernilai.

“Kami ingin keamanan, tapi bukan kematian,” ujar seorang aktivis lokal yang kehilangan keponakannya dalam penggerebekan.

Beberapa organisasi HAM seperti Amnesty International Brasil menilai kebijakan tangan besi yang diadopsi pemerintah justru memperburuk siklus kekerasan. Mereka menilai pendekatan represif seperti ini tidak efektif dalam menekan peredaran narkoba dan hanya memperdalam ketakutan masyarakat.

“Negara harus mengubah pendekatan represif menjadi kebijakan yang menghormati hak hidup dan memberdayakan masyarakat miskin,” tulis pernyataan resmi organisasi itu.

Perang narkoba di Brasil tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

(Redaksi)