POLITIKAL.ID - Terbongkarnya aktivitas tambang batubara ilegal di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Tahura Bukit Soeharto menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan pertambangan nasional. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebut insiden ini sebagai cerminan bobroknya tata kelola sektor mineral dan batubara (minerba) di Indonesia.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam PWYP Indonesia menyatakan keprihatinannya terhadap lemahnya sistem pengawasan pertambangan setelah pengungkapan praktik tambang ilegal yang berlangsung sejak 2016 di kawasan prioritas nasional, yakni IKN dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
“Ini bukan sekadar insiden, melainkan indikasi kegagalan pengawasan. Bagaimana mungkin kegiatan tambang ilegal dapat beroperasi hampir satu dekade di kawasan prioritas nasional seperti IKN tanpa terdeteksi?” ujar Adzkia Farirahman alias Azril, peneliti PWYP Indonesia, Minggu (20/7/2025).
PWYP Indonesia menyebutkan, meskipun operasi Bareskrim Polri layak diapresiasi karena berhasil menyita 351 kontainer batubara ilegal dan menangkap tiga tersangka, kasus ini menunjukkan bahwa ada celah besar dalam sistem pengawasan. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp5,7 triliun, terdiri dari Rp3,5 triliun kerugian deplesi batubara dan Rp2,2 triliun akibat kerusakan hutan.
Para pelaku diduga menggunakan dokumen palsu dari perusahaan berizin seperti PT MMJ dan PT BMJ untuk melancarkan aksi mereka. Batubara ilegal diselundupkan melalui pelabuhan seolah-olah berasal dari tambang legal.
PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk segera mereformasi tata kelola sektor minerba, khususnya dalam penguatan fungsi pengawasan dan evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan pemegang izin usaha di wilayah sekitar IKN.
Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kaltim yang merupakan bagian dari koalisi PWYP Indonesia, menyoroti pentingnya penegakan hukum berkeadilan dalam kasus ini.
“Kami mengapresiasi langkah Bareskrim Polri, tetapi kasus ini harus diusut tuntas. Harus jelas siapa saja penerima manfaat dari kejahatan ini. Kita bicara soal kelemahan pengawasan, bahkan dugaan adanya pembiaran oleh pihak-pihak terkait di daerah,” ucap Buyung.
PWYP Indonesia juga menyoroti pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyebut pengawasan hanya berlaku untuk tambang berizin. Menurut PWYP Indonesia, pernyataan tersebut membuktikan lemahnya mitigasi risiko di tingkat kementerian.
PWYP Indonesia meminta agar sistem pengawasan berbasis digital segera diperkuat, dengan mendorong keterlibatan publik, audit menyeluruh, serta transparansi dalam pelaporan aktivitas pertambangan.
“Kalau sistem tidak segera dibenahi, maka kasus serupa hanya tinggal menunggu waktu,” pungkas Azril.
(Redaksi)