POLITIKAL.ID - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan langkah besar dalam mempercepat industrialisasi nasional melalui program hilirisasi 20 komoditas unggulan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, kebutuhan investasi untuk menjalankan agenda besar tersebut mencapai US$618 miliar atau setara dengan Rp10.224,18 triliun (asumsi kurs Rp16.543 per dolar AS).
“Dari 20 komoditas lebih itu, kita membutuhkan investasi kurang lebih sekitar US$618 miliar,” ujar Bahlil dalam Investor Daily Summit di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (9/10).
Bahlil menjelaskan, hilirisasi menjadi kunci strategis untuk mengubah struktur ekonomi nasional dari berbasis komoditas mentah menjadi industri bernilai tambah tinggi. Selain mendongkrak ekspor, kebijakan tersebut juga diyakini akan memperkuat kemandirian ekonomi dan memperluas kesempatan kerja di dalam negeri.
Menurutnya, implementasi penuh hilirisasi di sektor mineral, batu bara, dan migas diperkirakan mampu menciptakan sekitar 3 juta lapangan kerja langsung, mulai dari tenaga teknis hingga industri turunan yang muncul di sekitar kawasan industri baru.
“Kalau hilirisasi itu bisa dilakukan, maka 3 juta lapangan kerja langsung akan terbuka, khususnya di sektor mineral batu bara, hingga minyak dan gas,” jelasnya.
Bahlil juga mencontohkan kesuksesan hilirisasi nikel, yang menjadi bukti konkret manfaat kebijakan tersebut. Sebelum ekspor bijih nikel dihentikan pada 2019, nilai ekspor Indonesia hanya sekitar US$3,3 miliar. Namun, setelah kebijakan hilirisasi diterapkan, nilai ekspor produk nikel melonjak hingga US$35–40 miliar per tahun.
“Nikel itu pada 2017-2018 ekspor kita hanya US$3,3 miliar. Setelah kita stop ekspor ore, di tahun 2023–2024 nilai ekspor kita mencapai sekitar US$35 miliar–US$40 miliar per tahun,” paparnya.
Meski begitu, Bahlil tidak menampik bahwa kebijakan hilirisasi sempat menimbulkan resistensi di lapangan. Banyak pihak, terutama pelaku usaha ekspor bahan mentah, menolak kebijakan tersebut karena khawatir kehilangan pasar.
“Contohnya hilirisasi nikel, saya didemo 1,5 bulan. Mereka bilang, ‘kalau ekspor nikel ditutup, bagaimana usaha kami?’ Saya katakan, kita ini sudah cukup lama kirim bahan baku. Sudah saatnya kita insaf, kalau tidak bisa insaf total, ya insaf bertahap,” tutur Bahlil.
Kini, Indonesia telah menjelma sebagai salah satu eksportir terbesar produk olahan nikel di dunia. Keberhasilan ini, menurut Bahlil, menjadi bukti nyata bahwa keberanian mengambil keputusan strategis bisa membawa hasil besar bagi ekonomi nasional.
“Dan sekarang apa? Dunia mengakui, kita adalah eksportir terbesar di dunia untuk produk hilirisasi industri bahan baku nikel,” tegasnya.
Program hilirisasi ke depan akan diperluas ke komoditas lain seperti batu bara, bauksit, tembaga, timah, hingga minyak sawit (CPO). Pemerintah juga tengah menyiapkan skema investasi dan insentif fiskal bagi investor yang berminat membangun industri pengolahan di dalam negeri.
Dengan total kebutuhan investasi lebih dari Rp10 ribu triliun, Bahlil optimistis hilirisasi akan menjadi tulang punggung transformasi ekonomi Indonesia menuju negara industri maju dan berdaya saing global.
(Redaksi)