IMG-LOGO
Home Umum Gelombang 100 Meter yang Mengguncang Ambon, Analisis Ilmiah Tsunami Tertua di Indonesia
umum | umum

Gelombang 100 Meter yang Mengguncang Ambon, Analisis Ilmiah Tsunami Tertua di Indonesia

oleh VNS - 02 November 2025 13:08 WITA
IMG
Peristiwa bencana alam paling dahsyat dalam sejarah kepulauan Indonesia dicatat oleh ilmuwan Jerman Georg Eberhard Rumphius, tragedi yang kini dikenal sebagai tsunami Ambon 1674. Foto:Ist

POLITIKAL.ID - Langit malam yang semula tenang berubah menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan. Dalam hitungan menit, bumi berguncang, lonceng-lonceng berdentang tanpa tangan manusia, dan ombak raksasa setinggi hampir 100 meter datang menerjang daratan.


Ribuan jiwa lenyap seketika, rumah dan benteng luluh lantak, sementara laut menelan segala yang ada di tepi pantai. Peristiwa ini menjadi bencana alam paling dahsyat dalam sejarah kepulauan Indonesia, sebagaimana dicatat oleh ilmuwan Jerman Georg Eberhard Rumphius, saksi hidup tragedi yang kini dikenal sebagai tsunami Ambon 1674.

Bencana itu terjadi pada Sabtu malam, 17 Februari 1674, sekitar pukul 19.30 waktu setempat.

Dalam catatan Rumphius, warga Ambon tengah menjalani malam dengan tenang ketika tiba-tiba bumi bergetar hebat. Guncangan begitu kuat hingga membuat orang-orang kehilangan keseimbangan dan tanah terasa seperti lautan yang berombak.

“Tanah bergerak naik turun seperti lautan,” tulis Rumphius dalam catatannya yang kelak dikenal dunia lewat karya Herbarium Amboinense.

Tak lama setelah gempa, lonceng di Kastil Victoria berdentang sendiri, menandakan sesuatu yang ganjil sedang terjadi. Banyak warga dan tentara VOC berlarian keluar benteng mencari tempat aman di lapangan bawah, tak sadar bahwa mereka justru sedang menuju arah maut.

Beberapa menit kemudian, ombak raksasa muncul dari tengah laut gelombang setinggi gedung 30 lantai menghantam daratan dengan kekuatan luar biasa.

Air laut menyerbu pesisir, menghancurkan rumah, benteng, dan perkampungan dalam sekejap.

“Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui rumah dan menyapu bersih desa. Batu karang terlempar jauh ke pedalaman,” kenang Rumphius.

Bencana itu tidak hanya meluluhlantakkan Pulau Ambon, tetapi juga menjangkau Pulau Seram dan wilayah sekitarnya. Ribuan orang terbunuh, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius sendiri. Ia menulis kisah tragis itu dengan hati hancur saya kehilangan segalanya dalam satu malam.

Catatan sejarah menyebut, sedikitnya 2.322 orang tewas akibat gempa dan tsunami Ambon 1674 angka yang luar biasa besar untuk masa itu.

Georg Eberhard Rumphius, lahir di Hanau, Jerman, tahun 1627, tiba di Ambon pada 1653 sebagai anggota VOC. Awalnya ia bertugas sebagai serdadu, namun kemudian beralih menjadi peneliti alam dan botani.

Meski di usia 40-an ia kehilangan penglihatan akibat penyakit, semangatnya tak pernah padam. Ia terus menulis, meneliti, dan menggambarkan flora, fauna, serta kehidupan masyarakat Ambon dengan detail luar biasa.

Karyanya Herbarium Amboinense yang baru diterbitkan setelah wafatnya kini diakui sebagai ensiklopedia botani pertama tentang flora Nusantara.

Namun, di balik pencapaian ilmiah itu, tersimpan duka mendalam ia menjadi saksi dan korban dari bencana alam paling mematikan di Asia Tenggara abad ke-17.

Tiga abad kemudian, kisah Rumphius kembali diteliti oleh para ilmuwan modern.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut catatan tersebut sebagai rekaman tertua tentang tsunami di Indonesia.

“Gempa Ambon 1674 merupakan gempa dan tsunami dahsyat pertama dalam catatan sejarah Nusantara,” ungkap Daryono, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, dalam webinar memperingati Tragedi Ambon 1674 (18 Februari 2025).

Menurut analisis seismolog modern, gempa pemicu tsunami tersebut berkekuatan sekitar Magnitudo 7,9.

Selain menimbulkan kerusakan daratan, getaran kuat itu juga menyebabkan fenomena likuifaksi ketika tanah kehilangan kekuatannya dan berperilaku seperti cairan, “menghisap” bangunan serta manusia.

Yang paling mengejutkan adalah penemuan bahwa gelombang raksasa setinggi hampir 100 meter itu tidak hanya disebabkan oleh pergeseran lempeng bumi, tetapi juga oleh longsor besar di dasar laut Ambon.

“Jika dibandingkan dengan tsunami Aceh 2004 atau Flores 1992, ketinggian gelombang Ambon 1674 jauh lebih ekstrem. Hal ini menunjukkan adanya kontribusi longsor pantai yang sangat besar,” jelas Daryono.

Tragedi Ambon 1674 menjadi pengingat keras bahwa Indonesia negeri di atas cincin api Pasifik selalu hidup berdampingan dengan potensi bencana besar.

Banyak tsunami modern seperti di Palu (2018) dan Selat Sunda (2018) juga disebabkan oleh longsor bawah laut, bukan gempa besar semata.

“Kita harus memahami bahwa tidak semua tsunami berasal dari gempa. Longsor bawah laut justru bisa menjadi pemicu utama, dan ini harus diwaspadai,” kata Daryono.

Bagi para ilmuwan, peristiwa Ambon 1674 bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan arsip ilmiah berharga tentang dinamika tektonik dan sejarah bencana Nusantara.

Bagi masyarakat, kisah itu menjadi peringatan moral: bahwa kesiapsiagaan adalah kunci bertahan di negeri rawan bencana.

Lebih dari 350 tahun telah berlalu, namun gema tragedi itu masih terasa di bumi Maluku.

Catatan Rumphius bukan hanya menyelamatkan pengetahuan, tetapi juga menyelamatkan kesadaran manusia modern tentang kekuatan alam yang tak terbantahkan.

Ambon 1674 adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pelajaran hidup dari seorang ilmuwan yang menulis dalam kegelapan untuk menerangi generasi setelahnya.

(Redaksi)