IMG-LOGO
Home Nasional Wamenkumham Dorong Perampasan Aset Bisa Tanpa Putusan Pengadilan
nasional | pemerintah

Wamenkumham Dorong Perampasan Aset Bisa Tanpa Putusan Pengadilan

oleh VNS - 19 September 2025 13:29 WITA
IMG
Rapat DPR bersama pemerintah terkait perampasan aset di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025). (antara)

POLITIKAL.ID - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Eddy Hiariej, menegaskan pentingnya perubahan paradigma dalam penegakan hukum terkait pengembalian aset hasil tindak pidana. Ia mendorong agar RUU Perampasan Aset mengatur mekanisme pemulihan aset tanpa harus melalui putusan pengadilan atau dikenal dengan istilah non-conviction based asset forfeiture (NCBAF).

Dalam sistem hukum Indonesia, pemulihan atau pengembalian aset masih harus melalui putusan pengadilan. Mekanisme ini dikenal sebagai conviction-based asset forfeiture (CBAF). Dengan model ini, aset yang diduga hasil kejahatan hanya bisa dirampas dan dipulihkan setelah pelaku dijatuhi hukuman tetap oleh pengadilan.

Namun, menurut Eddy, mekanisme ini kerap menemui kendala, terutama ketika proses hukum berlangsung lama, pelaku melarikan diri, atau bahkan meninggal dunia sebelum vonis dijatuhkan. Dalam kondisi tersebut, aset hasil kejahatan sulit dipulihkan ke negara.

Karena itu, Eddy menilai RUU Perampasan Aset harus mengatur mekanisme NCBAF, yakni perampasan atau pemulihan aset tanpa bergantung pada putusan pengadilan pidana.

“Ah, NCB [NCBAF] ini yang harus kita kelola karena dia bukan hukum acara pidana, juga bukan hukum acara perdata,” kata Eddy dalam rapat penyusunan Prolegnas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (18/9).

Dengan model ini, aset hasil tindak pidana bisa langsung dipulihkan ke negara, meski proses pidana terhadap pelaku belum atau tidak dapat dijalankan. Eddy menilai NCBAF akan memperkuat efektivitas pemberantasan korupsi, pencucian uang, hingga tindak pidana narkotika.

Meski demikian, Eddy menekankan bahwa RUU Perampasan Aset sebaiknya dibahas setelah revisi KUHAP dan KUH Perdata rampung. Hal ini karena mekanisme NCBAF membutuhkan kerangka hukum yang jelas agar tidak menimbulkan kontroversi dalam penerapannya.

“Namun kami setuju dengan Baleg bahwa kita mulai merintis dari tahun 2025, entah kapan selesainya kita butuh meaningful participation,” ujar Eddy.

Dalam kesempatan yang sama, Eddy juga menyoroti penggunaan istilah. Menurutnya, dalam hukum internasional, istilah yang tepat bukanlah “perampasan aset” melainkan asset recovery atau pemulihan aset.

“Asset recovery tidak diterjemahkan sebagai perampasan aset tapi pemulihan aset. Perampasan aset adalah bagian kecil dari pemulihan aset,” jelasnya.

Eddy menyebut proses pemulihan aset tidak mudah. Ia menyinggung hasil penelitian yang pernah dilakukannya selama tiga tahun, yang menyimpulkan bahwa ada tujuh tahapan dalam asset recovery dan semuanya memerlukan kerja sama lintas lembaga serta dukungan hukum yang memadai.

Sementara itu, DPR RI melalui Baleg telah menyepakati untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas Prioritas 2025. Ketua Baleg DPR Bob Hasan menegaskan, pembahasan RUU ini merupakan langkah penting untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi dan tindak pidana keuangan di Indonesia.

RUU tersebut sebelumnya juga sudah masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah 2024–2029.

(Redaksi)