IMG-LOGO
Home Analisa PDI Perjuangan Tolak Putusan MK Pemisahan Pemilu Daerah dan Nasional, Sebut Timbulkan Deadlock Konstitusional
analisa | umum

PDI Perjuangan Tolak Putusan MK Pemisahan Pemilu Daerah dan Nasional, Sebut Timbulkan Deadlock Konstitusional

oleh VNS - 24 Juli 2025 23:01 WITA
IMG
Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat (Ist)

POLITIKAL.ID - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah memicu penolakan keras dari PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng moncong putih ini menyebut putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi menimbulkan kebuntuan hukum atau deadlock konstitusional.

Ketua DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, menyatakan bahwa putusan MK justru menciptakan pertentangan antara pelaksanaan teknis pemilu dan amanat UUD 1945. Djarot merujuk pada Pasal 22E hasil amendemen tahun 2001, yang menyebut bahwa pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.

“Kalau dilaksanakan, itu melanggar undang-undang dasar ya. Tapi, kalau tidak dilaksanakan, katanya keputusan MK itu final. Saling pertentangan,” ujar Djarot saat dilansir detikX, Jumat lalu.

Menurutnya, kondisi ini membuat pemerintah maupun DPR berada dalam situasi serba salah. Di satu sisi, pelaksanaan putusan MK yang menyebut pemilu nasional dan lokal harus dipisah akan berbenturan dengan amanat konstitusi. Namun di sisi lain, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak bisa diabaikan.

Djarot menyebut hal ini sebagai deadlock konstitusional, yakni situasi ketika tidak ada jalan keluar hukum yang jelas antara pelaksanaan putusan lembaga yudikatif dan amanat konstitusi sebagai hukum tertinggi.

Lebih lanjut, Djarot menilai putusan MK kali ini bukan hanya bermasalah dari segi substansi, tapi juga menimbulkan dampak sistemik terhadap tatanan ketatanegaraan, terutama menyangkut masa jabatan pejabat publik yang bisa diperpanjang secara sepihak.

“Kalau masa jabatan DPRD dan kepala daerah bisa diperpanjang sampai tujuh tahun hanya karena jadwal pemilu dipisah, itu kan aneh. Rakyat memilih untuk lima tahun, kok tiba-tiba diperpanjang? Ini menabrak logika demokrasi,” katanya.

PDI Perjuangan juga menilai bahwa alasan kelelahan penyelenggara dan tingginya biaya pemilu yang dijadikan dasar pertimbangan MK tidak semestinya menjadi justifikasi konstitusional. Djarot menilai solusi dari kompleksitas pemilu justru harus datang dari perbaikan sistem pemilu itu sendiri, bukan dengan memisahkan jadwalnya.

“Kalau sistem pemilunya itu menggunakan proporsional tertutup, itu lebih mudah,” tambahnya.

Atas dasar itu, PDI Perjuangan menyerukan agar putusan ini tidak langsung dijalankan dan harus terlebih dahulu dimoratorium, serta diserahkan ke DPR untuk dilakukan pembahasan lanjutan. Menurut Djarot, bila pemerintah memaksakan pelaksanaan tanpa regulasi yang pasti, maka legitimasi seluruh hasil pemilu bisa dipertanyakan.

Ia pun menyebut PDI Perjuangan akan mengawal isu ini secara serius, termasuk dalam agenda pembahasan legislatif ke depan, agar tidak mencederai prinsip dasar demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.

(Redaksi)